Selasa, 09 Agustus 2011

BAB I PERAN KELUARGA DALAM MELATIH INTERAKSI SOSIAL ANAK DENGAN AUTISME


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Masyarakat mempunyai kelompok-kelompok sosial maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kelompok-kelompok ini biasanya mengadakan hubungan kerjasama yaitu melalui suatu proses sosial. Unsur pokok dari stuktur sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial meliputi hubungan antara manusia dengan manusia (individu dengan individu), individu dengan kelompok dan antar kelompok, yang mana dalam hubungan tersebut terdapat hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik (Anoraga dan Widiyanti, 1993).
Interaksi mengandung arti bahwa orang dengan mengadakan reaksi dan aksi ikut memberikan bentuk pada dunia luar (keluarga, teman, tetangga, kelas sosial, kelompok kerja, bangsa). Sebaliknya individu itu sendiri juga mendapatkan pengaruh dari lingkungan dan kadang-kadang pengaruh itu begitu kuat hingga membahayakan pribadinya (Monks, dkk ,2001).
Salah satu kelompok masyarakat adalah kelompok anak-anak. Anak merupakan kelompok masyarakat yang tidak lepas dari proses sosial. Mereka juga berinteraksi dengan orang lain, tetapi dalam taraf ini anak masih dalam perkembangan mengenal lingkungannya atau dalam tahap perkembangan sosial, yaitu di lingkungan sekitar rumah atau dengan tetangga, dan juga di sekolah.
Perkembangan sosial mengikuti suatu pola, yaitu suatu urutan perilaku sosial yang teratur, dan pola ini sama dengan semua anak di dalam suatu kelompok budaya. Perkembangan interaksi sosial dalam diri seorang anak, selain dipengaruhi oleh faktor dalam diri, juga banyak bersumber dari lingkungan, terutama lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan terdekat dalam kehidupan anak. Keluarga merupakan pengaruh sosialisasi yang terpenting, karena hubungan keluarga lebih erat, lebih hangat, dan lebih bernada emosional. Hubungan keluarga yang erat ini pengaruhnya lebih besar pada anak dalam berinteraksi (Hurlock, 1997).
Lingkungan yang mempengaruhi interaksi sosial anak adalah lingkungan sekolah. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga, karena di sekolah anak dalam tahap berlajar bersosialisasi dengan teman-teman yang baru dikenal. Sekolah mengharuskan mereka untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan baik di dalam maupun luar kelas, tetapi tidak semua anak mampu berinteraksi dengan orang lain. Mungkin saja ada anak yang suka menyendiri atau bermain sendiri, atau bisa saja anak yang terlalu impulsif atau hiperaktif. Anak-anak yang demikian mengalami gangguan pada perkembangan sosialnya. Adanya gangguan pada perkembangan itu, hasilnya anak dapat menjadi terhambat dalam hal komunikasi atau bisa saja berbicara contohnya anak penyandang autisme (Surivina, 2005).
Istilah “autis” telah menjadi bahan pembicaraan yang hangat dikalangan masyarakat. Autis merupakan gangguan  pervasive yang mencakup gangguan-gangguan dalam komunikasi verbal dan non verbal, interaksi  sosial, perilaku emosi. Gangguan autis mempunyai rentang yang cukup panjang, pada ujung yang satu terdapat autis ringan sedangkan pada ujung yang lain berat sekali.
Autisme dapat terjadi pada semua anak tanpa memandang ras, status, sosio ekonomi, dan tingkat pendidikan. Hal ini dapat diketahui dari semakin banyaknya kasus-kasus yang berkembang di kota kecil bahkan ada juga di pedesaan, ini menjadi perhatian kita dari angka prevalensi dari tahun ke tahun semakin meningkat (Kaplan, 1996 : 713 dalam.facebook.com, 2009).
Autisme saat ini merupakan masalah yang rumit dan jumlahnya terus meningkat. Jumlah anak yang mengalami autisme di negara Indonesia pada tahun 1980 menurut Resna (2005) adalah dua sampai lima setiap 10.000 anak, tetapi dalam satu dekade, yaitu tahun 1990 meningkat sebanyak 10  kali. Bahkan di tahun 2005 jumlahnya semakin menghawatirkan yaitu hampir 160  dari 10.000 anak di negara Indonesia mengalami autisme. Yayasan Autisme Indonesia (2004) menyatakan bahwa jumlah anak yang mengalami autisme mencapai 1 berbanding 150 jumlah kelahiran. Peningkatan tersebut juga terjadi di kota  Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia yang memiliki angka pertumbuhan penduduk sebesar 2,06% per tahun. Angka kelahiran anak di kota Surabaya pada tahun 2005 menurut Badan Pusat Statistik Kotamadya Surabaya sebanyak  65.235 jiwa, sehingga jumlah anak dengan autisme diperkirakan akan meningkat sebanyak 435 anak setiap tahunnya. Namun menurut Handojo (2008), peningkatan kasus autisme tidak diikuti dengan peningkatan sumber penanganan kasus yang salah satunya adalah ketersediaan terapis yang profesional.
Menurut Simpson (2005) kemampuan anak penyandang autis dalam mengembangkan interaksi sosial dengan orang lain sangat terbatas, bahkan mereka bisa sama sekali tidak merespon stimulus dari orang lain. Autis merupakan kondisi anak yang mengalami gangguan hubungan sosial yang terjadi sejak lahir atau pada masa perkembangan, sehingga anak tersebut terisolasi dari kehidupan manusia (Sugiarto, dkk,  2004).
Yuniar (2000) mengatakan bahwa ketidakmampuan berinteraksi sosial merupakan salah satu dari trias autis. Trias autis adalah gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, tidak bisa berbagi kesenangan dengan teman dan kurang dapat berhubungan sosial dan emosional timbal balik. Gangguan interaksi antara lain : kontak mata sangat kurang, tidak bisa bermain dengan teman sebaya, tidak bisa berempati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional timbal balik. Perilaku yang ditujukan para penyandang autisme umumnya seringkali menjadi masalah besar bagi para orang tua dan caregiver (pengasuh, pendidik,dll). Perilaku itu dapat meliputi perilaku yang tidak wajar, berulang-ulang, perilaku agresif atau bahkan membahayakan serta perilaku-perilaku lainnya yang sering terlihat pada mereka seperti  flapping, rocking, dll. Kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan juga menjadi persoalan utama bagi para penyandang autis. Hambatan berbahasa dan berbicara memiliki andil yang besar pada timbulnya berbagai masalah dalam perilaku. Ketidakmampuan menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan kebutuhannya, dapat membuat seorang anak autis berteriak-teriak (Raymond, 2004).   Bukan hanya menjadi masalah besar bagi orang tua, keberadaan anak autis juga masih menjadi hal yang membingungkan di kalangan masyarakat. Tingkah laku seperti bersikap acuh tak acuh kepada orang, sulit sekali diajak komunikasi, dan seolah hidup dalam dunianya sendiri. Hal-hal yang disebutkan tadi kadang dirasa aneh dan masyarakat yang tidak mengerti dapat mengatakan bahwa anak itu gila. Akibat yang dapat ditimbulkan dari hal di atas sangat berpengaruh pada psikologis orang tua penyandang autis. Bisa saja mereka mengabaikan karena mungkin malu atau menganggap anak mereka sebagai suatu bencana sehingga membuat anak mereka semakin parah.
Orang tua selayaknya tidak berlarut-larut mengalami  kesedihan, karena anak mereka membutuhkan peran dari orang tua untuk mendukungnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yatim (2003) menunjukkan bahwa 10% anak autisme yang mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang baik maka anak dapat melakukan hubungan sosial dan berperilaku mendekati normal. Telah dapat dibuktikan bahwa penderita autisme dapat bertahan dan berprestasi karena adanya dukungan orang tua dan keluarga yang terus menerus (Bisono, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Anan dan Warner (2008) menunjukkan bahwa 11–14 % anak autisme yang mendapatkan dukungan intensif keluarga dapat berubah statusnya dari tidak mungkin mengalami perbaikan menjadi  mungkin untuk diperbaiki. Untuk itu dibutuhkan peran serta dan dukungan keluarga dalam mendampingi anak autisme dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana Peran  Keluarga Dalam Melatih Interaksi Sosial Anak Dengan Autisme”, dengan menggunakan metode deskriptif survey, karena  penggunaan pendekatan ini akan dapat mengidentifikasi secara mendalam Peran  Keluarga Dalam Melatih Interaksi Sosial Anak Dengan Autisme.
1.2 Rumusan Masalah           
 “Bagaimanakah peran  keluarga dalam melatih interaksi sosial anak dengan autisme. 

1.3 Tujuan Penelitian  
Mengidentifikasi peran  keluarga dalam melatih interaksi sosial anak dengan autisme.
.
1.4 Manfaat Penelitian 
            1. Masyarakat : sebagai informasi kepada masyarakat melalui yayasan tentang pentingnya peran mandiri keluarga dalam melatih interaksi sosial anak dengan autisme.
            2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan          :
a. sebagai penelitian pendahuluan untuk mengawali penelitian lebih lanjut tentang peran keluarga dalam melatih interaksi sosial anak dengan autisme.
b. sebagai salah satu sumber informasi bagi pelaksanaan penelitian bidang keperawatan tentang peran keluarga dalam melatih interaksi sosial anak dengan autisme pada masa yang akan datang dalam rangka peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan.
            3. Penulis          : Memperluas cakrawala wawasan penulis tentang fenomena yang sedang  marak diperbincangkan yaitu masalah peran keluarga dalam melatih interaksi sosial anak dengan autisme. Serta menerapkan teori riset keperawatan/penelitian bidang keperawatan dalam suatu bentuk penelitian.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar