Sabtu, 11 Februari 2012

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Cholangitis

1.    PENDAHULUAN
Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat dan dapat mengancam nyawa.
Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri. Cholangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus choledochus.
Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.
Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama, memberikan penjelasan yang baik kepada pasien, dan merujuk secara tepat.

2.    DEFINISI
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.

3.    INSIDENSI
Di Amerika Serikat, Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis). Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna diinjeksikan secara retrograd.
Insidensi Internasional cholangitis adalah sebagai berikut. Cholangitis pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai cholangiohepatitis Oriental, endemik di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang, pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik.

4.    MORTALITAS/MORBIDITAS
Mortalitas dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada penderita dengan penyakit penyerta yang lain. Pada zaman dahulu, tingkat mortalitasnya mencapai 100%. Dengan ditemukannya Endoscopic retrograde cholangiography, sphincterotomy terapeutik secara endoskopik, ekstraksi batu dan stenting bilier, tingkat mortalitas telah menurun sampai kira-kira 5-10%.
Pasien-pasien dengan karakteristik berikut berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi:
o Hipotensi
o Gagal ginjal akut
o Abses hepar
o Sirosis
o Inflammatory bowel disease
o Striktur karena malignansi
o Radiologic cholangitis – post percutaneus transhepatic cholangiography
o Jenis kelamin perempuan
o Usia lebih tua dari 50 tahu
o Kegagalan merespon terhadap terapi antibiotik dan konservatif.
Usia lanjut, masalah medis penyerta, dan keterlambatan dekompresi bilier meningkatkan tingkat kematian operatif yang timbul (17-40%). Tingkat mortalitas dari pembedahan elektif setelah stabilisasi keadaan pasien lebih rendah secara signifikan (kira-kira 3%). Pada masa lalu, cholangitis suppurativa diduga meningkatkan morbiditas; namun, studi prospektif tidak menunjukkan bahwa dugaan tersebut benar.
Cholangitis seringkali terjadi secara sekunder karena batu empedu yang mengobstruksi ductus choledochus, oleh karena itu memiliki faktor resiko yang sama dengan cholelithiasis. Prevalensi batu empedu tertinggi terdapat pada orang-orang berkulit terang keturunan Eropa utara, juga pada populasi Hispanik, Suku-suku asli amerika, dan Indian Pima.
Sebagai tambahan, populasi Asia tertentu dan penduduk negara dimana insidensi parasit intestinal tinggi juga memiliki resiko yang lebih tinggi. Orang Asia lebih mungkin memiliki batu primer karena infeksi bilier kronis, parasit, stasis bilier, dan striktur bilier. Cholangitis pyogenik Rekuren jarang terjadi di Amerika Serikat. Orang kulit hitam dengan penyakit sickle cell anemia memiliki resiko yang lebih tinggi.
Walaupun batu empedu lebih sering terjadi pada wanita daripada pada pria, rasio pria-wanita sama pada cholangitis.
Pasien berusia lanjut dengan batu empedu asimtomatik lebih mungkin mengalami komplikasi serius dan cholangitis. Cholangitis pada pasien tua yang datang dengan sepsis dan perubahan status mental harus selalu dipikirkan, pasien tua lebih rentan terhadap batu kandung empedu dan batu saluran empedu, dan oleh karena itu, cholangitis. Usia median presentasi cholangitis adalah antara usia 50-60 tahun.

5.    PATOFISIOLOGI
Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat supuratif pada saluran bilier.
Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus (choledocholithiasis) meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli (27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%).
Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.
Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun 1980-an batu choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang tercatat.

6.    PENYEBAB
Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan penyebab utama cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor.
Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran bilier pada ductus choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi parasit, ataupun kompresi ekstrinsik yang ditimbulkan oleh pancreas, dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi parsial memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit.
Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kira-kira 10-15% pasien dengan cholecystitis memiliki choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca cholecystectomy memiliki choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar choledocholithiasis bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama bertahun-tahun.
Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi parsial berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi dibandingkan dengan obstruksi neoplastik total. Tumor-tumor yang dapat menyebabkan cholangitis adalah:
o Kanker pancreas
o Cholangiocarcinoma
o Kanker ampulla vateri
o Tumor porta hepatis atau metastasis
Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah:
o Striktur atau stenosis
o Manipulasi CBD secara endoskopik
o Choledochocele
o Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier)
o AIDS cholangiopathy
o Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.

7.    PEMERIKSAAN KLINIS
  1. Riwayat
Pada tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai “triad” yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan Jaundice. Pentad Reynolds menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada triad tersebut. Terdapat berbagai spektrum cholangitis, mulai dari gejala yang ringan sampai sepsis. Apabila terdapat shock septik, diagnosis cholangitis mungkin dapat tidak terduga. Pikirkan cholangitis pada setiap pasien yang nampak septik, terutama pada pasien-pasien tua, mengalami jaundice, atau yang mengalami nyeri abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau gejala kolik bilier dapat merupakan petunjuk bagi penegakkan diagnosis.
Triad Charcot terdiri dari demam, nyeri abdomen kanan atas, dan Jaudice. Dilaporkan terjadi pada 50%-70% pasien dengan cholangitis. Namun, penelitian yang dilakukan baru-baru ini mengemukakan bahwa gejala tersebut terjadi pada 15%-20% pasien. Demam terjadi pada kira-kira 90% kasus. Nyeri abdomen dan jaundice diduga terjadi pada 70% dan 60% pasien. Pasien datang dengan perubahan status mental pada 10-20% kasus dan hipotensi terjadi pada 30% kasus. Tanda-tanda tersebut , digabungkan dengan triad Charcot, membentuk pentad Reynolds.
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas; namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis:
o Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
o Pasca cholecystectomy
o Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram
o Riwayat cholangitis sebelumnya
o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun dapat berhubungan dengan cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya akan dijelaskan di bawah, dekompresi biasanya tidak diperlukan.
  1. Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup berat dan cukup sering datang dalam keadaan shock septik tanpa sumber infeksi yang jelas.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan sebagai berikut:
o Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak mengalami demam
o Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%)
o Hepatomegali ringan
o Jaundice (60%)
o Perubahan status mental (10-20%)
o Sepsis
o Hipotensi (30%)
o Takikardia
o Peritonitis (jarang terjadi, dan apabila terjadi, harus dicari diagnosis alternatif yang lain)

8.    DIAGNOSIS DIFERENTIAL
o Cholecystitis dan kolik Bilier
o Penyakit Divertikuler
o Hepatitis
o Iskemia mesenterika
o Pancreatitis
o Shock Septik
Diagnosis lain yang perlu dipertimbangkan:
o Sirosis
o Liver Failure
o Abses hepar
o Appendicitis accuta
o Ulcus pepticum yang mengalami perforasi
o Pyelonephritis
o Diverticulitis colon kanan

9.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
  1. Uji Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan cholangitis, 79% memiliki sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis dapat leukopenik.
Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan kadar kalsium darah diperlukan untuk memeriksa kemungkinan pancreatitis, yang dapat menimbulkan hipokalsemia, dicurigai. Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan keadaan cholestasis, hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar alkali fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat.
PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang menimbulkan Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut. Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya dilakukan apabila pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi.
Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial
Hasil urinalisis biasanya normal
Lipase: keterlibatan ductus choledochus bagian bawah dapat menimbulkan pancreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari pasien mengalami sedikit peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan enzim pankreas menunjukkan bahwa batu saluran empedu menimbulkan cholangitis, dengan ataupun tanpa gallstone pancreatitis (pancreatitis yang disebabkan oleh batu empedu). Kultur empedu: kultur empedu dilakukan apabila pasien mengalami drainase bilier oleh interventional radiology atau endoscopy.

  1. Studi Pencitraan
Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan CT scan merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan.
Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan cholecystitis. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung empedu dan menilai dilatasi saluran bilier, namun pemeriksaan ini sering melewatkan batu yang terdapat pada ductus biliaris distal.
Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan awal pilihan. Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari obstruksi ekstrahepatik dan memperlihatkan dilatasi ductus. Pada sebuah penelitian, hanya 13% choledocholithiasis dapat diamati pada USG, namun dilatasi CBD terdapat pada 64% kasus. Keuntungan USG adalah dapat dilakukan secara cepat di UGD (dengan USG portabel), kemampuan untuk melihan struktur lain (aorta, pancreas, liver), kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi (misal perforasi, empyema, abscess) dan tidak terdapatnya resiko radiasi
Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung pada kemampuan operator dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak mampu untuk melihat ductus cysticus, dan penurunan sensitivitas bagi batu saluran empedu distal. Hasil USG yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis cholangitis.
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria standar bagi pencitraan sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik. Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih aman daripada intervensi bedah dan percutaneus.
Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi sebesar 1,38% dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%. Komplikasi utama dari ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan tingkat mortalitasnya sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis, perdarahan, dan perforasi.
Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG. CT helical atau spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT cholangiography mempergunakan zat kontras yang diambil oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini meningkatkan kemampuan untuk memvisualisasikan batu radioluscent dan meningkatkan tingkat deteksi dari patologi bilier lain. Ductuc intrahepatik dan ekstrahepatik dan inflamasi saluran bilier dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu tidak dapat terlihat dengan baik pada CT Scan biasa,
Keuntungan dari CT adalah: Kemampuan untuk melihat proses patologis lain yang merupakan penyebab ataupun komplikasi dari cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan pericholecystic, abses hepar). Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal: diverticulitis kolon kanan, nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia mesenterium, dan appendix yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan CT cholangiography lewat pendekatan ERCP.
Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang buruk, reaksi alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya kemampuan untuk memvisualisasikan saluran bilier dengan kadar bilirubin serum yang meningkat.
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan studi noninvasif yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier dan patologi bilier lain. MRCP akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem bilier. Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes diagnostik invasif seperti pengambilan sample empedu, uji sitologis, pengambilan batu, ataupun stenting. Pemeriksaan MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran kecil (<6mm>
Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk keberadaan alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan okuler atau cochlear, dan benda asing pada okuler. Kontraindikasi relatif meliputi terdapatnya prosthesa katup jantung, neurostimulator, prosthese logam dan implan pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan masih belum diketahui.
Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada diagnosis cholangitis akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut. Antara 10-30% batu empedu memiliki cincin kalsium, sebagai akibatnya bersifat radioopak. Foto abdomen dapat menunjukkan udara dalam saluran bilier setelah manipulasi endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis emphysematosa, cholangitis, ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara dalam dinding kandung empedu mengindikasikan cholecystitis emphysematosa.

  1. Pemeriksaan lain
Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan diisopropyl iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan uji fungsional dari kandung empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan HIDA pada obstruksi total dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran bilier. Keuntungannya adalah kemampuan untuk menilai fungsi empedu dan hasilnya dapat positif dapat muncul sebelum pembesaran ductus dapat dilihap melalui USG.
Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4) dapat menurunkan sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak makan selama 24 jam juga dapat mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu pencitraan anatomis bagi struktur-struktur lain selain saluran bilier tidak memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan waktu beberapa jam, sehingga tidak direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang tidak stabil.

10.  PENANGANAN
Leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali dan transaminase cukup sering terjadi, dan apabila terjadi, mendukung diagnosis klinis dari cholangitis. USG berguna apabila pasien belum pernah didiagnosa dengan batu empedu, karena USG dapat memperlihatkan batu kandung empedu, memperlihatkan ductus yang berdilatasi, dan dapat menentukan lokasi obstruksi. Tes diagnostik definitif adalah ERCP. Pada kasus dimana ERCP tidak dapat dilakukan, PTC diindikasikan. ERCP dan PTC akan menunjukkan tingkat obstruksi, namun penyebabnya tidak dapat ditentukan dengan cara ini. ERCP dan PTC dapat memungkinkan kultur empedu, memungkinkan pengangkatan batu (apabila ada), dan drainase saluran empedu dengan kateter drain atau stent.
Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi antibiotik intravena dan resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal cefazolin, cefoxitin) merupakan obat pilihan pada kasus-kasus ringan sampai sedang. Apabila kasusnya berat atau memburuk secara progresif, obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin ataupun metronidazole sebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan. Pasien tersebut mungkin memerlukan pemantauan di ICU dan dukungan vassopressor. Sebagian besar pasien akan merespon terhadap tindakan ini. Namun, saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera mungkin setelah pasien stabil. Sekitar 15% pasien tidak akan merespon terhadap terapi antibiotik intravena dan resusitasi cairan, dan dekompresi bilier darurat mungkin diperlukan. Dekompresi bilier dapat diakukan melalui endoskopi, melalui rute transhepatic percutaneus, ataupun secara bedah. Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan pada tingkat dan sigat obstruksi bilier. Pasien dengan choledocholithiasis atau keganasan periampuler paling baik ditangani menggunakan pendekatan endoskopik, dengan sphincterotomy dan pengangkatan batu, atau dengan penempatan stent bilier secara endoskopi. Pada pasien dengan obstruksi yang lebih proksimal atau terletah pada perihiler, atau penyakitnya disebabkan striktur pada anastomosis enterik-bilier, atau apabila usaha melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase transhepatik perkutaneus dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan, operasi darurat dan dekompresi ductus choledochus dengan T tube mungkin diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Namun perlu diingat bahwa mortalitas pasien yang diobati dengan terapi bedah lebih tinggi daripada pasien yang berhasil diobati dengan endoskopi. Secara keseluruhan tingkat kematian pada pasien dengan cholangitis karena batu empedu sebesar 2% dan kematian pada pasien dengan toxic cholangitis adalah sebesar 5%.
Terapi operasi definitif sebaiknya ditunda sampa cholangitis selesai ditangani dan diagnosis yang tepat ditegakkan. Pasien dengan stent yang terpasang dan mengalami cholangitis biasanya memerlukan uji pencitraan berulang dang penggantian stent dengan guidewire.
Intervensi segera (misal: sphincterotomy endoscopik, PTC, atau operasi dekompresi) diperlukan pada 10% pasien dengan cholangitis akut. 90% sisanya pada akhirnya akan diobati dengan pembedahan elektif atau sphincterotomy endoskopik setelah terapi antibiotik dan evaluasi diagnostik yang seksama.
Cholangitis akut berhubungan dengan tingkat mortalitas total sebesar 5%. Saat terdapat gagal ginjal, gangguan jantung, abses hepar dan keganasan, tingkat mortalitas dan morbiditasnya jauh lebih tinggi.

11.  PENGOBATAN LAIN
Extracorporeal shock-wave lihotripsy (ESWL) pertama kali dipergunakan untuk menghancurkan batu ginjal. Teknik ini telah dikembangkan untuk pengobatan batu empedu, baik pada kandung empedu maupun pada saluran empedu. Pengobatan ini sering dikombinasikan dengan prosedur endoskopik untuk memudahkan lewatnya batu yang telah terfragmentasi atau pengobatan oral yang dapat melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala, batu dapat dilarutkan dengan mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan langsung pada slauran bilier,

ASUHAN KEPERAWATAN

1.    PENGKAJIAN
a.    Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis).
b.    Keluhan Utama
Pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas, nyeri tidak menjalar/menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk – tusuk.
c.    Riwayat Penyakit
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis:
o Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
o Pasca cholecystectomy
o Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram
o Riwayat cholangitis sebelumnya
o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun dapat berhubungan dengan cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya akan dijelaskan di bawah, dekompresi biasanya tidak diperlukan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas; namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apakah klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi, anemia sel sabit.
d.    Pemeriksaan body system
  1. System Pernapasan
Inspeksi : Dada tampak simetris, pernapasan dangkal, klien tampak gelisah.
Palpasi : Vocal vremitus teraba merata.
Perkusi : Sonor.
Auskultasi : Tidak terdapat suara nafas tambahan (ronchii, wheezing)
  1. System Kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaforesis.
  1. Sistem Neurology
Tidak terdapat gangguan pada system neurology.
  1. System Pencernaan
Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas, klien mengeluh mual dan muntah.
Auskultasi : peristaltic ( 5 – 12 x/mnt) flatulensi.
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/quadran kanan atas, nyeri tekan epigastrum.
Palpasi : hypertympani.
  1. System Eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat.
  1. System integument
Terdapat icterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal.
  1. System muskuluskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP.

2.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. gangguan pemenuham nutrisi berhubungan dengan mual muntah
3. gangguan pola tidur/istirahat berhubungan dengan iritasi peritonial.
4. gangguan keseimbangan berhubungan dengan reaksi inflamasi
5. resiko anemia berhubungan dengan kekurangan vitamin K
6. resiko dehidrasi berhubungan dengan mual muntah.

3.    INTERVENSI
a.    Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
tujuan : nyeri berkurang setrelah dilakukan tindakan keperwatan 1 x 24 jam.
kriteria hasil : keadaan umum normal
klien mengatakan nyerinya berkurang
wajah tampak rileks tidak lagi menyeringai keskitan.
Skala nyeri ( 1 – 3 )
Ttv dalam batas normal
Intervensi :
1. observasi dan catat lokasi, beratnya ( skala 0 – 10 ) dan karakter nyeri ( menetap, hilang timbul/kolik )
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.
2. tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
R/ tirah baring pada posisi fowler rendah meurunkan tekanan intra abdomen.
3. dorong menggunakan tehnik relaksasi, contoh bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan nafas dalam.berikan aktivitas senggang.
R/meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian dapat meningkatkan koping.
4. berikan obat sesuai indikasi :
· antikolinergik, contoh atrophin propantelin(probantine)
R/menhilangkan reflek spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen nyeri.
· Sedative, contoh fenobarbitol.
R/ meningkatkan istirahat dan merilekskan otot halus, menhilangkan nyeri.

b.    Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
Tujuan : Pemenuhan nutrisi adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
Kriteria hasil :
- Klien menyebutkan penyebab mual/muntah
- Klien mengatakan mual/muntah berkurang
- Klien menunjukkan kemajuan mencapai berat badan ideal
- TTV dalam batas normal :
T : 110/60-130/90 mmHg n : 60-100 x/menit
S : 39-372 0C RR : 16-20 x/menit
BB : (TB-100) – 10% (TB-100)
Intervensi :
1. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang penyebab mual / muntah serta tindakan yang akan dilakukan
R/ meningkatkan pengetahuan klien tentang penyebab masalah serta mendorong klien agar lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan
2. Kaji distensi abdomen
R./ tanda nonverbal ketidaknyamanan b/d gangguan pencernaan
3. Hitung pemasukan kalori
R/ mengidentifikasi kekurangan / kelebihan kebutuhan nutrisi
3. Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau
R/ untuk meningkatkan nafsu makan / menurunkan mual
4. Berikan kebersihan oral sebelum makan
R/ mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan
5. Tawarkan minuman seduhan saat makan, bila toleran
R/ dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas
6. Sajikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
R/ menurunkan frekuensi mual
7. Kolaborasi dengan ahli gizi / diet tentang pemberian diet rendah lemak
R/ pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan nyeri sehubungan dengan tidak semua lemak dicerna dan berguna dalam mencegah kekambuhan
8. Kolaborasi dengan tim dokter tentang pemberian garam empedu ( Biliron : Zanchol, decholin) sesuai indikasi

c.    Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :
- Turgor kulit yang baik
- Membran mukosa lembab
- Pengisian kapiler baik
- Urine cukup
- TTV stabil
- Tidak ada muntah
Rencana intervensi :
1. Pertahankan intakke dan output cairan
R/ mempertahankan volume sirkulasi
2. Awasi tanda rangsangan muntah
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral menimbulkan degfisit natrium, kalium dan klorida
3. Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/hr)
R/ mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
4. Kolaborasi :
- Pemberian antiemetik
- Pemberian cairan IV
- Pemasangan NGT

d.    Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman klien
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan
Rencana intervensi :
1. Kaji informasi yang pernah didapat
R/ mengkaji tingkat pemahaman klien
2. Beri penjelasn tentang penyakit, prognosa, dan tindakan diagnostik
R/ memungkinkan terjadinya partisipasi aktif
3. Beritahukan diit yang tepat, teknik relaksasi, untuk persiapan operasi
4. Anjurkan teknik istirahat yang harus dilaporkan tentang penyakitnya
5. Anjurkan untuk menghindari makanan atau minuman tinggi lemak
R/ mencegah / membatasi terulangnya serangan kandung empedu
6. Diskusikan program penurunan berat badan
R/ kegemukan adalah faktor resiko terjadinya cholangitis
7. Kaji ulang program obat, kemungkinan efek samping
R/ batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang



DAFTAR PUSTAKA

1.    Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, The C.V Mosby Company St. Louis, USA.
2.    Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3.    CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery, Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders
4.    CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment. Mc Graww Hill Companies.
5.    FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8th Ed. Mc Graww Hill Companies.
6.    Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit Buku Kedoketran EGC, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar